Quiet Quitting

Ada istilah baru nih, quiet quitting. Saya cuplik dari internet, kurang lebih maknanya adalah konsep kerja secukupnya saja untuk keseimbangan hidup dan kesehatan mental.

Yes, work life balance.

Sejak pandemi covid, ntah dari mana mulainya, ritme kerja bener2 jadi ga jelas. Kalau ga mau disemprot atasan, ponsel harus selalu di dalam genggaman, 24/7. Kapanpun diminta update, kita harus siap. Itulah kenapa saat pandemi kemarin banyak yang maksa tetep ke kantor karena justru beban WFO menjadi lebih ringan.

Kalo WFH? Judulnya aja di rumah, kerja sambil ngumpul sama keluarga. Tapi begitu anak manggil ngajak main, bisa2 tanduk langsung keluar 😁 malahan nih yang saya denger, angka perceraian justru meningkat ketika WFH. Ketauan deh rahasia2 yang selama ini bisa ‘dikontrol’ dari kantor 😊

Tapi ini hebat banget. Ketika tiba2 pandemi melanda, semua hal seperti sudah disiapkan untuk mengatasi kehidupan bekerja dalam situasi pandemi. Sebut saja aplikasi seperti zoom meeting yang banyak digunakan perusahaan2 untuk tetep bisa mengadakan meeting secara online.

Saya ga ngerti, gimana mereka mempersiapkan cara2 untuk mengontrol hidup kita. Kira2 berapa kali meeting ya sebelum virusnya disebar? 🙊

Bahkan vaksinnya aja udah bisa disiapkan sebelum virusnya ada. Saya pernah baca berita tentang prediksi Bill Gates di tahun 2015. Saat itu, Gates menyebut bakal ada sebuah virus yang akan menjadi pandemi dan menyusahkan penduduk dunia. Dan kita semua tau siapa yang membiayai studi kepada sejumlah produsen vaksin 😊

Waktu saya sekolah dulu, saya belajar adanya teori invisible hand adam smith yang mengatakan bahwa ada kekuatan yang didasarkan pada interaksi diantara pelaku ekonomi di pasar. Membiarkan kekuatan penawaran dan permintaan bekerja pada akhirnya akan menghasilkan alokasi sumber daya yang paling efisien dan memberikan manfaat sosial yang maksimal.

Kalau kita kembali ke hadits, Rasulullah SAW juga sudah lebih dulu menerapkan teori invisible hand ini dengan menjelaskan bahwa harga di pasar ga bisa diintervensi, melainkan sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau hukum “supply and demand”

Yang terjadi saat pandemi kemarin, seakan2 ada invisible hand -dalam pengertian lain- yang sudah mengatur gimana kehidupan penduduk dunia dalam situasi pandemi.

Contohnya nih, walaupun restoran tutup untuk melayani langsung, tapi ada aplikasi memesan makanan secara online. Kitapun ga perlu ketemu drivernya, semua transaksi beres secara online dan kita tinggal ambil pesanan kita di pagar depan rumah. Saya yakin, pasca pandemi aplikasi2 ini makin meningkat penggunanya, karena ketika pandemi orang2 yang sebelumnya ga pernah menggunakan aplikasi ini, ‘dipaksa’ untuk mulai menggunakan demi memudahkan hidupnya.

Kerja dari rumah? Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, tiba2 aja ada yg namanya zoom meeting, google meet, bahkan whatsapp sudah bisa bikin video call untuk lebih banyak peserta. Kalau ga salah sih zoom udah ada sebelum pandemi, tapi kalau su’udzhan, tetep aja ngerasanya aplikasi ini memang sudah disiapkan sebelum pandemi.

Ada serunya juga sih dari aplikasi ini, ketika pandemi kemarin saya malah bisa lebaranan sama temen2 yang saling berjauhan rame2 ngumpul pake zoom meeting. Kurang serunya karena ngobrolnya ga bisa sambil tukeran nastar 😁

Okey, yg kerja, yg sekolah, udah bisa mereka atasi. Trus tim rebahan gimana? Tenang, in a while, tiba2 udah ada aja yang namanya tiktok. Sumpah buat saya pribadi aplikasi ini sampah banget 😆 tapi nyatanya, semua orang happy dengan adanya tiktok. Apalagi tiktok ini gampang banget digunakan oleh orang dengan berbagai latar pendidikan. Anak kecil aja bisa bikin tiktok 😏 lucunya lagi, dengan adanya tiktok ini ig malah upgrade fasilitasnya dengan reels 😁

Kembali ke pembahasan quiet quitting, semua kebiasaan2 dalam bekerja saat pandemi berlanjut hingga sekarang. Para pekerja jadi makin ga punya waktu untuk kehidupan pribadi. Tetep aja after hours bahkan sabtu minggu mereka masih diganggu urusan kantor. Bahkan yg cuti aja banyak dipesenin bosnya dengan “hape tetep aktif ya”. Lah trus ngapain cutinya dong 😊 Perusahaan kan bikin cuti supaya pegawai kembali fresh sehingga bisa kembali bekerja dengan lebih semangat dan kinerjapun meningkat.

Ada sebuah quote yg mengatakan, justru leader yang baik adalah yg membackup pekerjaan anggota teamnya yang cuti. Sukur2 pas balik dari cuti bosnya dapet banyak oleh2 kan 😁

Coba deh, jaman sebelum ada ponsel, ketika cuti orang2 bisa pulang kampung silaturrahmi sama semua keluarga, melepas rindu. Alih2 seperti sekarang yang ketika cuti mudik harus membawa serta laptopnya 🤦‍♀️

Pada akhirnya, sekarang para pekerja menjadi semakin sadar bahwa mereka udah ga ada waktu lagi buat keluarga. Bener, ketika kita melamar pekerjaan sedianya kita udah tau apa yg menjadi job desc kita, dan kita udah komit untuk maksimal dalam berkerja. Tapi ga juga berarti kita harus bekerja sepanjang waktu, karena tubuh juga memiliki alarm sendiri. Kalo udah kelelahan, ujung2nya kita malah ga bisa bekerja dengan optimal lagi kan?

Makanya muncul konsep quiet quitting ini yang membuat para pekerja ingin menikmati waktu offnya dengan baik. Istirahat, kumpul dengan keluarga, jalan2, kembali merefresh otak yang lelah.

Kalau semuanya dilakukan demi kesehatan mental dan work-life balance, ini menjadi hal yang baik. Asalkan sebagai pekerja, kita harus tetep komit menyelesaikan semua pekerjaan kita dengan baik, karena kerja itu kan ibadah 😊

(570)

Leave a Reply

Your email address will not be published.